Tuesday, December 3, 2013

BIOGRAFI


  1. BIOGRAFI SULAIMAN JUNED
    Sulaiman Juned, dilahirkan di gampong (desa) kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie-Aceh, 12 Mei 1965. Pernah terkenal dengan nama pena; Soel’s J. Said Oesy. Beliau Ia menyelesaikan pendidikan formal; SD Negeri Biespenantanan Takengon-Aceh Tengah (1979), Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih duduk di bangku SLTP, Soel kecil berkenalan dengan guru bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 3 Takengon.  Kareana ketertarikan beliau dalam menulis puisi, dilihat mempunyai bakat oleh guru bahasa indonesiannya beliau disarankan memasuki karya tulisannya ke dalam media yaitu koran yang di bantĂș oleh gurunnya yang bernama siti aisyah.
    Selanjutnya mungkin darah seni mengalir dari abua (abang dari ibu) bernama Abdullah yang lebih dikenal dengan panggilan Syeh Lah Jarum Meueh seorang pimpinan seudati yang paling terkenal di Aceh. Lalu ketika diboyong oleh orangtua merantau ke Takengon-Aceh Tengah, mulai suka menonton Didong (teater tutur dari Aceh Tengah), dan Sandiwara Keliling Gelanggang Labu. Soel bahkan pernah terlibat berlatih didong dengan seniman besar didong dari tanah Gayo To’et. Juga pernah bermain Sandiwara Keliling gelanggang labu dengan Cut Maruhoi, Idawati. Pengalaman empirik ini menumbuhkan jiwa seni di jiwanya. Di Sanggar Cempala Karya Banda Aceh yang didirikannya pada tahun 1989, seluruh adik-adiknya (anggota) Sanggar memanggilnya dengan sebutan ‘Pawang’.
    Beliau melanjutkan jenjang pendidikannya dari SMA di ), SMA Negeri Beureunuen-Pide Aceh (1985), FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh (1990), Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang (2002) diselesaikannya dengan prediket Cumlaude, lalu Program Magister Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah (2007) juga lulus dengan prediket Cumlaude. Ketika masih berada di Aceh ia mengajar teater di SMA Adi Darma Banda Aceh,  SMA YPTP Banda Aceh, SMA Negeri 5 Banda Aceh. Kini ia menjadi dosen tetap di Jurusan Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat. Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (1999-Sekarang), Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat (2000-Sekarang), Guru teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang (20007-Sekarang), Guru bidang studi Pendidikan Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia (1998-2005).
    Beliau Memperistri Iswanti Soepardi yang dinikahinya pada tanggal 7 Agustus 1995, di Keutapang Dua-Banda Aceh, menimang seorang anak laki-laki yang lahir di Beureunuen Pidie-NAD pada tanggal 17 Maret 2002 bernama surya darma isman. Anak beliau pun kini mengikuti jejaknnya seorang penyair kecil dari acaeh. Kini menetap bersama di RT.XI Kelurahan Guguk Malintang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Padangpanjang, Sumatera Barat. Rumahnya sekaligus tempat “anak-anak Kuflet” berkumpul, berproses kreatif-berpikir-diskusi dan membaca serta ‘berkelahi’ pikiran.
    Beliau semenjak dari Aceh sanpai ke Padangpanjang mulai menyutradarai naskah lakon; Desah Nafas Mahasiswa/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1989), Pulang/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1989), Warisan/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1990), ABU/B.Sularto (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1990), Orang-Orang Marjinal/Sulaiman Juned (CeKa-Auditorium RRI Banda Aceh,1991), Pernikahan/Sulaiman Juned (CeKa-Auditorium MUI Aceh, 1991), Boss/YS.Rat (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1992), Eksprimentasi Belenggu/Nurgani Asyik (CeKa, Taman Budaya, 1993), Nyanyian Angsa/Anton P.Chekov (CeKa, 1994), Si Pihir dan Berudihe/NN (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1995), Hari Sudah Senja/Jarwansyah (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1996), Kemelut/Sulaiman Juned (CeKa, Riau, 1997), Kemerdekaan/Wisran Hadi (Kuflet, Hoerijah Adam ASKI PadangPanjang, 1997/ INS Kayutanam, Pertemuan Sastrawan Nusantara, 1997) Ikrar Para Penganggur/Sulaiman Juned (Kuflet, 1998), Ambisi/Wolfman Kowict (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang, 1999), Raimah/Arzul Jamaan (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang, 1999), Selingkuh/Benny Yohanes (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2000), Seteru/Sir Kenneth W.Goodman (Kuflet, Taman Budaya Sumatera Barat, 2000), Piramus dan Tisbi/William Shakeaspeare (Kuflet, Hoerijah Adam STSI Padangpanjang, 2001), Jambo “Luka Tak Teraba”/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang, 2001 dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2002), Orang-Orang Rantai/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO, Sawahlunto Sumatera Barat, 2002), Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2003), Jambo Ayam Jantan/Sulaiman Juned (Kuflet, Hoerijah Adam STSI Padangpanjang, 2004), Marsinah/Ratna Sarumpaet (Kuflet, Taman Budaya Sumatera Barat, 2004), Asalku Dari Hulu/Sulaiman Juned (Kuflet, Lapangan Sawahlunto, 2004), Berkabung/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2004 dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2005), Sebut Saja namaku Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2005), Teaterikal Puisi ‘Riwayat’/Sulaiman Juned (Kuflet, Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah, 2006), Hikayat Pak Leman/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2006, dan Gedung Teater Mursal Esten Padangpanjang, 2007), Hikayat Cantoi/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang, 2007 dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2008).
                Karena talenta beliau yang besar mengenai teater Prof. Dr. Mursal Esten yang melihat potensi kesenimanan dalam diri Sulaiman Juned, kemudian membawa perubahan besar pada Sulaiman Juned. Semula Sulaiman Juned hanya berkreatifitas mengikuti naluri keseniman di Banda Aceh, akhirnya melangkah ke Padangpanjang untuk menggeluti teater secara keilmuan yang mendalam dan sistematis di STSI Padangpanjang. Perjalanan menuju gelar sarjana seni pun ditempuh dengan segala tantangannya di kota dingin Padangpanjang. Walaupun berhari-hari kelaparan bersama teman-teman seperjuangan, langkah menunju cita-cita dilalui seiring berjalannya waktu. Pertarungan demi pertarungan hidup dilalui dengan ketegaran hingga akhirnya ijazah sarjana didapat.
    Padangpanjang menjadi lahan subur bagi Sulaiman Juned dalam mengembangkan bakat kesenimanan. Bersama teman-teman seperjuangan  Sulaiman Juned mendirikan kelompok teater pada tanggal 12 Mei 1997. Kelompok teater ini, menjadi media ekspresi  penting dalam proses kreatif Sulaiman Juned. Sulaiman dalam wadah ini ‘menelorkan’ karya-karya penting dalam proses kreatifnya. Drama-drama berkualitas dilahirkan tak jauh dari persoalan kampung halaman nan kini jauh dimata. Karya drama pertamanya adalah “Jambo” Luka Tak Teraba, yang dipentaskan pada tanggal 20 Maret 2002, lakon ini berkisah tentang dua orang yang terjebak dalam situasi konflik dengan kebimbangan  meradang dalam hati masing-masing. Brahim adalah warga sipil yang dikurung oleh militer pada masa konflik, namun ia sendiri tidak dapat memastikan apakah yang mengurungnya benar-benar militer karena ia melihat wajah-wajah orang tersebut semuanya hitam. Iparnya Polem mencoba menyabarkan Brahim yang mengalami gangguan jiwa setelah kejadian penyekapan itu. Penggambaran lakon Brahim mengidap penyakit yang dalam psikologi biasa di sebut paranoid. Konflik psikologisnya dengan Polem tergambar  ketika tokoh Brahim ingin lari dari kenyataan, ia dihantui oleh perasaannya, di sisi lain ada keinginan bergabung dengan kaum Ateuh yang berada di hutan karena ia merasa kampung tak aman lagi baginya. Brahim dan Polem akhirnya terlibat perkelahian, namun saat mereka bergelut justru Brahim terkena tembakan yang tak jelas asalnya.
    Drama “Jambo” Luka tak Teraba akhirnya melahirkan tiga drama Jambo yang lain, yaitu; Ayam Jantan, Bunga Api Bunga Hujan dan Beranak Duri dalam Daging. Pertarungan Sulaiman Juned dengan perasaannya dalam mengingat kampung halaman  tak pernah reda. Pertikaian tersebut bermuara pada pemelesetan ketegangan dalam drama “Cantoi” yang dipentaskan sebagai karya tugas akhir memperoleh gelar Magister di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Jawa Tengah.
    “Kuflet” adalah komunitas yang berjasa menampung berbagai kegelisahan estetik Sulaiman dalam dekade 1997-2008.  komunitas ini memberikan peluang Sulaiman berkarya tentang Aceh, walaupun ia berada di Padangpanjang. Sementara anggota “kuflet” sebagian besar bukan orang Aceh, komunitas ini menganut faham exotisme dimana batas-batas primordialisme dibuang oleh anggotanya. Inilah yang membuat “kuflet” bereksplorasi tentang tragedi Aceh, orang-orang dalam  komunitas ini selalu bersedia menampung ide-ide kreatif dan melepaskan baju etnis kedaerahan mereka. Seni merupakan media estetik bukan media untuk menyombongkan diri, apalagi dikungkung jiwa kampungan yang sempit ditengah tuntutan pemikiran global. Di “Kuflet” Sulaiman menemukan ‘sesuatu’ yang dulu didapatkannya di “Cempala Karya”. Rasa rindu kepada kampung halaman serta kegelisahan mengingat teman-teman di “Cempala Karya’ Dilipurnya di “Kuflet” seperti seorang yang kehilangan rumah. “Kuflet” dijadikan keluarga baru, menerima Sulaiman dengan segala kegelisahan kesenimanannya, cinta Sulaiman Juned pada “kuflet” berbanding sama dengan ‘rumah lamanya’ “Cempala Karya”
    Proses “Kuflet” sebagian besar tentang konflik Aceh, membuat komunitas ini terlihat ‘beda’ di Padangpanjang. Bila komunitas lain membicarakan isu lokal tentang kebudayaan Minangkabau, atau perkara politik Indonesia yang carut marut. “Kuflet” setia menyuarakan kondisi Aceh dari Padangpanjang. Itu dikarenakan Sulaiman adalah   seniman  dalam komunitas ini, tak pernah berhenti ‘menelurkan’ karya-karya yang dipresentasikan bersama oleh anggota komunitas dalam bentuk pertunjukan. Drama-drama karya Sulaiman Juned dipentaskan secara berkala, didukung oleh posisi Sulaiman yang membaik sejak tahun 1997, setelah tamat S-1 di STSI Padangpanjang. Ia diangkat sebagai tenaga pengajar, sehingga proses kreatif yang dulu terhambat biaya dan rasa lapar kini mulai dapat diatasi. Karya-karya tersebut mendapat tempat presentasi dalam gedung-gedung pertunjukan  di STSI Padangpanjang, Taman Budaya Sumatera Barat dan Gedung TBO Sawahlunto.
    Teman-teman di “Kuflet” mempresentasikan karya itu sebagai kesetiaan pada kesenian dan kerelaan melepaskan ego kedaerahan. Mereka lebur dalam konsep berfikir dan frame artistik yang dibangun Sulaiman. Setiap pementasan meskipun  bukan berasal dari Aceh, mereka tetap cerdas memainkan lakon sebagai orang Aceh. Perlu dicatat diantara mereka adalah, Ika Trisnawati, saat ini ‘keluar’ rumah menjadi guru di Painan, Sumatera Barat. Leni Efendi, sekarang mengajar di STSI Padangpanjang, Maizul menekuni diri sebagai pengusaha di Dumai. Mereka ini bukan orang-orang Aceh, tetapi dalam konsep berfikir tetap beranggapan  kesenian menembus batas kedaerahan sehingga  rela ikut lebur dalam berbagai diskusi komunitas mengenai kondisi Aceh. Bahkan menyumbangkan fikiran dan materi untuk kelancaran proses kreatif Sulaiman.
    Di tengah  maraknya seniman Sumatera Barat atau rekan-rekan dari luar Sumatera Barat mementaskan karya  bertemakan Sumatera Barat, atau karya-karya penulis drama asing yang diterjemahkan. Sebagian seniman lain asyik mementaskan karya drama pemenang sayembara Taman Ismail Marzuki (TIM), “Kuflet” konsisten mementaskan karya Sulaiman. Anehnya ini disebut ‘aneh’, padahal tidak ada yang ‘aneh’. Kreatifitas ini proses akomodasi biasa dari sebuah komunitas terhadap kegelisahan estetik angotanya. Barangkali terlihat ‘aneh’ karena disini (Sumatera Barat) kalau seseorang tidak ikut-ikutan “jadi Minangkabau” akan dikatakan ‘aneh’. 
    Orang-orang “Kuflet” agaknya tidak peduli dengan sebutan ‘aneh’ atau sebagian lagi mengatakan mereka bodoh atau ‘diperalat’ Sulaiman untuk menyuarakan Aceh. Mereka berfikiran komunitas bukan sebagai tempat memunculkan ego kampungan  kekanak-kanakan, melainkan tempat berproses kreatif dalam membuka wacana ilmu kesenimanan. Pertunjukan demi pertunjukan dipentaskan, suasana semakin ‘panas’, sebagian dari orang-orang yang kontra terhadap ideologi “Kuflet” mulai ‘berkicau’.  Menghembuskan ungkapan bertujuan ‘melemahkan’ perjuangan orang-orang “Kuflet”, “kuflet”  dikatakan ‘milik” Sulaiman Juned dan tidak mau memberi peluang kreatifitas bagi anggota lain. Sejauh mereka tidak mengganggu orang-orang ‘aneh’ di “kuflet” penghuni rumah Sulaiman (kuflet)  tidak menghiraukan ‘kicauan’ burung dalam sangkar itu. Peristiwa duka terjadi juga akhirnya, hasutan dari OTKP (orang tak kenal prinsip kuflet) merasuki beberapa anggota  sehingga pertunjukan  seharusnya siap dipentaskan terkendala oleh penghianatan dua aktor penting yang melarikan diri seminggu sebelum pentas. Sebagai ‘orang aneh’ anggota “kuflet” yang lain tidak gamang menghadapi kendala itu. Walaupun aktor penting pergi, pementasan tetap dilanjutkan walau aktor baru hanya punya waktu seminggu untuk latihan. Para OTKP kecewa,  misi memberangus proses kreatif “Kuflet” yang dirancang matang gagal total.
    Karya terbesar Sulaiman dalam “Kuflet” adalah ide pendirian “kuflet” itu sendiri, bersama Maizul (seorang sastrawan Sumatera Barat), Arnaldoriko (seorang putra Jambi, (Alm) Prof Dr. Mursal Esten  (Sastrawan Nasional dari Sumatera Barat) dan Rustam  Efendi (Perupa asal Bengkulu), IDN. Supenida, S.Skar (Komposer asal Bali, Dosen Karawitan STSI Padangjang), Drs. Jufri, M.Sn (Komposer asal Minangkabau, Dosen Karawitan STSI Padangpanjang), Netty Herawati (Sastrawan kini menetap di Makasar). Sulaiman Juned mendeklarasikan pendirian “Kuflet” pada tanggal 12 Mei 1997 (tanggal dan bulan ini bertepatan dengan kelahiran Sulaiman Juned). Kemudian dimulailah proses kreatif, Pertama kali dipentaskan  “Ambisi” karya Wolfman Kovitch, oleh Sulaiman menjadi kental dengan nuansa konflik Aceh (1999), “Seteru” karya Sir Kenneth W. Godman, hasilnya tetap mengarah pada kondisi konflik tanah rencong. Karya berikutnya lakon hasil observasinya di tanah kelahirannya, berjudul “Jambo” Luka Tak Teraba, yang benar-benar ‘menelanjangi’ keadaan konflik Aceh pada dekade DOM (2002), kemudian “Jambo” Ayam Jantan, berbicara tentang adu kepintaran dua pemuda Aceh yang berseberangan visi terhadap kondisi Aceh (2004), karya yang lahir tahun 2007 adalah “Hikayat Cantoi” karya/ sutradara Sulaiman Juned “menertawakan” konflik Aceh  sebagai kebodohan yang menimbulkan korban dalam jumlah besar.
    Karya-karya tersebut memang kental dengan kerisauan yang tersublim ke dalam bentuk pertunjukan teater. Perjuangan tak henti memikirkan kampung halaman. Berfikir dan menatap dari kejauhan merupakan derita tersendiri, namun ‘rumah’ bernama “Kuflet” setia menyalurkan kegelisahan itu jadi karya-karya dan hadir sebagai refleksi kegamangannya (untuk topik ini, baca tulisan Wiko Antoni berjudul “Hikayat Cantoi Sulaiman Juned: Eksternalisasi Agrophobia, dalam Jurnal Komindok STSI Padangpanjang No.3 tahun 2008).
    “Percintaan” Sulaiman dengan “Kuflet” merupakan hubungan antara rumah dan penghuninya, saling memahami dan memiliki visi yang sama tentang aturan yang berlaku didalam rumah itu. Dilandasi persaudaraan dan saling melindungi serta bertolong-tolongan untuk kebaikan. Sulaiman Juned lelaki kilometer nol Indonesia itu, tegar menghadapi “peperangan” visi kesenimanan di negeri orang. Luar biasa.
    Teman-teman “Kuflet” yang setia sependapat dengan hal ini sehingga bila mereka bertandang ke “kuflet” mereka tetap dianggap keluarga yang pulang dari rantau. Tidak ada dendam di “Kuflet” yang ada saling memahami perbedaan sebagai Sunatullah  bila mereka memang tidak sependapat dengan apa yang dianut “Kuflet” maka mereka boleh menentukan jalan  sendiri.
    Pembenahan terbesar di “kuflet” adalah pemahaman bahwasannya teater bukan sekedar rutinitas untuk menyempurnakan ego sebagai seorang seniman, melainkan  wadah mendekatkan diri dengan apa yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Jadi jelas sekali “Kuflet”  tempat membenturkan idealisme dengan kenyataan sosial. Selagi perbenturan itu tidak menyalahi hukum Allah, semua anggota komunitas akan mendukungnya. Kewajiban semua orang mengungkap haq dalam selubung kebatilan yang kerap berwajah kebenaran, “Kuflet” walaupun mungkin tak mampu menjadi fasilitator kebenaran tetapi akan berusaha menunaikan kewajiban  komunitas teater dalam menyuarakan suara hati yang tak terkontaminasi keinginan untuk mengajak kepada keburukan.





    .         
         




No comments:

Post a Comment