Monday, November 16, 2015

apakah adat akan bertanggung jawab akan kesedihanku

Mungkin orang-orang mengatakan bahwa aku hanya mengikuti arus zaman sekarang. orang bercerita di blogger akupun ikut-ikutan. tetapi dalam blogger inilah aku dapat bercerita dan membagi kisah-kisahku dan berharap bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang. aku tidak mengigninkan ketnaran dari semuannya aku hanya ingin mengurangi bebeanku dengan menulis, blogger sebagai catatan harian ku.



Adaik nan basandi nan kasarak, sarak basandi kakitabullah. Sarak bakato yo mamak adaik mamakai alunan hiduik yo kandung rang minangkabau. Tidak dapat kupungkiri bahwasanya aku merupakan keturunan dari orang Minangkabau, masyarakat umum menyebutnya dengan sebutan “urang awak”. Kedua orangtuaku asli dari masyarat Minangkabau, Daerah berbeda karakternyapun berbeda. Sama seperti pepatah Minangkabau, “Lain lubuak lain ikannyo”. Tapi itu bukanlah hal yang penting untukku dulu, sebelum aku menginjakkan kaki ku di Ranah Minangkabau. Waktu itu aku tidak dapat mencerna setiap arti dalam kalimat-kalimat petuah  tersebut.
Aku adalah seoarang anak yang buta akan adat, ya dapat dikatakan seperti itu. Aku dibesarkan dari keluarga yang memang asli Minangkabau, akan tetapi aku lahir di rantau orang yang sudah terlalu jauh meninggalkan adatnya. Dari kecil aku berbaur dengan lingkunang yang berbeda suku dariku seperti suku Jawa,Sunda,Lampung, bahkan Cina. Aku tidak mengenal yang namanya mata pelajaran BAM (budaya alam minangkabau).Karena di rumah orangtuaku selalu berbahasa Indonesia.
Hal yang aku rasa Pertama aku menginjakan kakiku di Alam Minangkabau seperti di surga. Sekeliling ku pandangi yang kutemukan hanya pemandangan yang indah, sawah, pepohonan,orang yang ku temukan mereka begitu ramah. Sesuatu yang tidak dapat ku temukan di tempat kelahiranku. Ya mungkin saja aku terlalu berlebihan dalam mengatakan bahwa alam Mninangkabau adalah surga, itu menurut pendapatku ketika pertama kali aku menginjakan kakiku di Minangkabau. saat itu aku berjanji dalam diriku sendiri bahwa aku ingin tinggal di Minangkabau.
Akhirnya keinginanku terpenuhi setelah aku tamat dari sekolah menengah atas, aku ingin melanjutkan sekolahku kejenjang yang lebih tinggi. Aku diterima disalah satu unifersitas Negri di Padangpanjang. Padangpanjang yang kata orang adalah serambi mekah, kota dimana tempat para tokoh ternama melanjutkan pendidikannya seperti Buya Hamka, Msyafe’i dan yang lainnya.
Kapasitasku yang kosong tentang Minangkabau menjadi dasarku melanjutkan perkuliahan di Padangpanjang. Aku ingin tau tatacara hidup,bermasyarakat, aturan –aturan di Minangkabau, aku ingin menerapkan pituah-pituah Minangkabau dalam kehidupanku. Aku ingin menjawab semua pertanyaan yang ada didalam diriku tentang Minangkabau. dimana adatnya yang tak lekang dimakan zaman dan lapuk karena hujan.
Aku merasa bangga menjadi orang Minang, dimana wanita memang sangat dijunjung tinggi seperti panutannya  Bundo Kandung. Tetapi ada beberapa hal yang bertentangan dalam diriku tentang adat di Minangkabau. Pernah aku mendengar tentang SALISIAH ADAIK. Salisiah adaik pernah menjadi salah satu ujian anak jurusan TV di ISI Padangpanjang. Kisah itu menceritakan antara dua pasang kekasih yang berbeda daerah antar daerah Pariaman dan Payakumbuah.
Adat di Pariaman bahwa anak lelaki atau marapulai, harus dibeli oleh anak wanita atau anak daro. Sedangkan adat di Payakumbuh tidak mengenal hal demikian, jika ingin menikah anak laki-laki harus dibeli atau ditebus. Ketika aku melihat film tersebut sangatlah menyentuh. Apakah adat tidak dapat diberikan toleransi? Memisahkan sepasang kekasih karena sama-sama berdiri tegak menurut adatnya masing-masing? Tidakkah merasa iba dengan mereka yang saling sayang hingga tidak dapat bersatu karena adat. Apakah yang membuat aturan tidak pernah tau rasanya sakit bercerai kasih?

 Lalu bagaimana dengan ku? Aku yang lahir dirantau orang, dan orang tuaku lahir diranah minangkabau yang penuh dengan adat. Saat ini aku sedang menjalin kasih dengan seseorang yang asli orang pariaman. Apakah film yang diproduksi oleh salah seorang mahasiswa ISI tersebut menjadi kenyataan dengan diriku? Keluarga dari kekasihku orang yang melek akan adat, sedangkan diriku hanya orang perantau yang menimba ilmu di tanah Minangkabau. Bahkan ketika aku sudah di negri Minangkabau aku bertanya apa itu kesenian randai kepada orangtuaku, mereka hanya diam dan menggelengkan kepalanya.
Hari ini ketika aku diundang oleh orangtua dari kekasihku untuk menghadiri pernikahan adiknya orang tuaku melarang, mengatakan bahwa itu melanggar adat. Lalu adat apa yang aku langgar? Adat di Pariamankah, adat disolok, dipesisirkah atau adat di rantau orang?. Apakah ada larangannya ketika seseorang ingin menyambung silaturahmi kesesama manusia? Menghadiri pernikahan apakah itu melanggar adat? Lalu dimana letaknya aturan adat ketika Mamak tidak mendidik keponakannya? Apakah itu tidak melanggar adat?
Ada saat aku berbincang-bincang dengan kedua orangtuaku membahas tentang hubunganku dengan kekeasihku. Ayah ku berkata jika aku ingin lanjut dengan pacarku kejenjang lebih serius orang tuaku tidak akan pernah setuju. Jika mereka harus mengeluarkan uang untuk memberi jemputan, ia lebih baik membeli ternak untuk di beli bisa menghasilkan uang. Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apakah mereka tidak perduli? Lalu bagaimana dengan adat yang mengikat? Apakah mereka akan bertanggung jawab untuk kesedihanku?



No comments:

Post a Comment