Adaik nan basandi nan kasarak,
sarak basandi kakitabullah. Sarak bakato yo mamak adaik mamakai alunan hiduik
yo kandung rang minangkabau. Tidak dapat kupungkiri
bahwasanya aku merupakan keturunan dari orang Minangkabau, masyarakat umum menyebutnya
dengan sebutan “urang awak”. Kedua orangtuaku asli dari masyarat Minangkabau,
Daerah berbeda karakternyapun berbeda. Sama seperti pepatah Minangkabau, “Lain
lubuak lain ikannyo”. Tapi itu bukanlah hal yang penting untukku dulu, sebelum
aku menginjakkan kaki ku di Ranah Minangkabau. Waktu itu aku tidak dapat
mencerna setiap arti dalam kalimat-kalimat petuah tersebut.
Aku
adalah seoarang anak yang buta akan adat, ya dapat dikatakan seperti itu. Aku
dibesarkan dari keluarga yang memang asli Minangkabau, akan tetapi aku lahir di
rantau orang yang sudah terlalu jauh meninggalkan adatnya. Dari kecil aku
berbaur dengan lingkunang yang berbeda suku dariku seperti suku
Jawa,Sunda,Lampung, bahkan Cina. Aku tidak mengenal yang namanya mata pelajaran
BAM (budaya alam minangkabau).Karena di rumah orangtuaku selalu berbahasa
Indonesia.
Hal
yang aku rasa Pertama aku menginjakan kakiku di Alam Minangkabau seperti di surga.
Sekeliling ku pandangi yang kutemukan hanya pemandangan yang indah, sawah,
pepohonan,orang yang ku temukan mereka begitu ramah. Sesuatu yang tidak dapat
ku temukan di tempat kelahiranku. Ya mungkin saja aku terlalu berlebihan dalam
mengatakan bahwa alam Mninangkabau adalah surga, itu menurut pendapatku ketika
pertama kali aku menginjakan kakiku di Minangkabau. saat itu aku berjanji dalam
diriku sendiri bahwa aku ingin tinggal di Minangkabau.
Akhirnya
keinginanku terpenuhi setelah aku tamat dari sekolah menengah atas, aku ingin
melanjutkan sekolahku kejenjang yang lebih tinggi. Aku diterima disalah satu
unifersitas Negri di Padangpanjang. Padangpanjang yang kata orang adalah serambi
mekah, kota dimana tempat para tokoh ternama melanjutkan pendidikannya seperti
Buya Hamka, Msyafe’i dan yang lainnya.
Kapasitasku
yang kosong tentang Minangkabau menjadi dasarku melanjutkan perkuliahan di
Padangpanjang. Aku ingin tau tatacara hidup,bermasyarakat, aturan –aturan di Minangkabau,
aku ingin menerapkan pituah-pituah Minangkabau dalam kehidupanku. Aku ingin
menjawab semua pertanyaan yang ada didalam diriku tentang Minangkabau. dimana adatnya
yang tak lekang dimakan zaman dan lapuk karena hujan.
Aku
merasa bangga menjadi orang Minang, dimana wanita memang sangat dijunjung
tinggi seperti panutannya Bundo Kandung.
Tetapi ada beberapa hal yang bertentangan dalam diriku tentang adat di
Minangkabau. Pernah aku mendengar tentang SALISIAH ADAIK. Salisiah adaik pernah
menjadi salah satu ujian anak jurusan TV di ISI Padangpanjang. Kisah itu
menceritakan antara dua pasang kekasih yang berbeda daerah antar daerah
Pariaman dan Payakumbuah.
Adat
di Pariaman bahwa anak lelaki atau marapulai, harus dibeli oleh anak wanita
atau anak daro. Sedangkan adat di Payakumbuh tidak mengenal hal demikian, jika
ingin menikah anak laki-laki harus dibeli atau ditebus. Ketika aku melihat film
tersebut sangatlah menyentuh. Apakah adat tidak dapat diberikan toleransi?
Memisahkan sepasang kekasih karena sama-sama berdiri tegak menurut adatnya
masing-masing? Tidakkah merasa iba dengan mereka yang saling sayang hingga
tidak dapat bersatu karena adat. Apakah yang membuat aturan tidak pernah tau
rasanya sakit bercerai kasih?
Lalu
bagaimana dengan ku? Aku yang lahir dirantau orang, dan orang tuaku lahir
diranah minangkabau yang penuh dengan adat. Saat ini aku sedang menjalin kasih
dengan seseorang yang asli orang pariaman. Apakah film yang diproduksi oleh
salah seorang mahasiswa ISI tersebut menjadi kenyataan dengan diriku? Keluarga dari
kekasihku orang yang melek akan adat, sedangkan diriku hanya orang perantau
yang menimba ilmu di tanah Minangkabau. Bahkan ketika aku sudah di negri
Minangkabau aku bertanya apa itu kesenian randai kepada orangtuaku, mereka
hanya diam dan menggelengkan kepalanya.
Hari
ini ketika aku diundang oleh orangtua dari kekasihku untuk menghadiri
pernikahan adiknya orang tuaku melarang, mengatakan bahwa itu melanggar adat. Lalu
adat apa yang aku langgar? Adat di Pariamankah, adat disolok, dipesisirkah atau
adat di rantau orang?. Apakah ada larangannya ketika seseorang ingin menyambung
silaturahmi kesesama manusia? Menghadiri pernikahan apakah itu melanggar adat? Lalu
dimana letaknya aturan adat ketika Mamak tidak mendidik keponakannya? Apakah itu
tidak melanggar adat?
Ada
saat aku berbincang-bincang dengan kedua orangtuaku membahas tentang hubunganku
dengan kekeasihku. Ayah ku berkata jika aku ingin lanjut dengan pacarku
kejenjang lebih serius orang tuaku tidak akan pernah setuju. Jika mereka harus
mengeluarkan uang untuk memberi jemputan, ia lebih baik membeli ternak untuk di
beli bisa menghasilkan uang. Lalu bagaimana dengan perasaanku? Apakah mereka
tidak perduli? Lalu bagaimana dengan adat yang mengikat? Apakah mereka akan
bertanggung jawab untuk kesedihanku?
No comments:
Post a Comment